Fenomena Krisis Kepercayaan Kader Partai Politik

Sekitar 49 hari lagi akan digelar pesta rakyat, yakni Pemilukada serentak. Setiap Parpol sudah mulai sibuk menggelar rapat konsolidasi untuk memenangkan calonnya.

Tidak hanya itu, aneka bentuk kampanye pun telah mewarnai dinamika kehidupan sosial setiap musim kampanye.

Entah berapa banyak biaya yang dikeluarkan, yang jelas semua itu akan dikorbankan untuk memenuhi ‘hasrat’ kekuasaan politik dan melanggengkannya.

Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan, “musim kampanye adalah musim menghamburkan uang”.

Namun di tengah drama politik yang sedang berlangsung, tidak sedikit timbul masalah di tubuh berbagai parpol sendiri. Mulai perbedaan pendapat yang sengit sesama kader hingga terjadi dualisme kekuasaan.

Dalam keadaan seperti ini terkadang kepentingan parpol pun di atas hukum.

Yang lebih menarik lagi, ada sementara petinggi parpol yang sampai mengancam kadernya jika tidak pro aktif. Sebut saja partai golkar misalnya.

Dalam salah satu kesempatan, Idrus Mahram mengancam kader golkar di Kabupaten Serang dengan tidak mencalonkannya lagi di pileg nanti. (Tangsel Pos/9/12/2016)

Meski terbilang mengherankan, sebetulnya kejadian tersebut merupakan hal wajar dalam kontestasi pesta demokrasi. Pasalnya, uang dan doktrin menghalalkan segala cara masih menjadi titik menggoda para kader.

Berbagai doktrin pun belakangan muncul seperti “ambil uangnya, warna jaket tetap setia”.

Fenomena seperti ini tentu sangat mengkhawatirkan para petinggi parpol. Bagaimana tidak, kader yang selama ini diharapkan kerjasamanya masih belum sepenuhnya dipercaya.

Setidaknya ada beberapa penyebab krisis kepercayaan kader tersebut.

Pertama terkait proglem Paradigma Kepatuhan. Dalam menilai baik buruknya sesuatu, kader dipengaruhi oleh tiga hal; 1) kebutuhan ekonomi, 2) Trust pemimpin, dan 3) Doktrin.

Pada point pertama loyalitas kader banyak dipengaruhi kebutuhan ekonomi. Misalnya, mana yang lebih banyak memberikan manfaat uang, kesanalah ia mengabdi.

BACA :  Cara Membuat Perpustakaan Pribadi di Rumah Paling Mudah

Terlepas parpolnya atau bukan. Kejadian ini lumrah dan banyak dialami kader. Tak aneh bila kita saksikan seorang politisi seperti kodok yang melompat ke sana ke mari mencari tempat yang nyaman.

Che Guevara dalam salah satu pidatonya mengatakan “beberapa kader memang benar-benar berhasil tetapi lainnya terputus di tengah jalan, atau lenyap begitu saja di telan labirin birokrasi, atau terperosok kedalam godaan-godaan kekuasaan”.

Point kedua, loyalitas kader dipengaruhi oleh citra pemimpinnya (trust). Jika track record pemimpin mereka baik dan berwibawa, kader pun akan menaruh segan bahkan mencintainya.

Sebaliknya bila pemimpinnya terjangkit berbagai kasus hukum, kader mulai kehilangan teladan, lalu mudah gonjang-ganjing mengikuti arus lain. Adapun point ketiga, loyalitas kader dipengaruhi suatu doktrin.

Pada point ketiga ini, iman dalam ajaran agama masih menempati posisi terpenting dalam merealisasi loyalitas kepada pemimpin.

Dalam ajaran agama, hendaknya umat menaruh taat kepada pemimpinnya dalam keadaan suka dan duka selama pemimpin tersebut tidak berbuat maksiat.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw bersabda “wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” (HR. al-Bukhari no 2955)

Hanya saja, meskipun point ketiga ini dipahami dengan baik oleh para kader, kadangkala masih terjadi pembelotan atau setidaknya tidak pro aktif seperti yang dikatkaan sekjen DPP Golkar tersebut.

Artinya krisis kepercayaan kader masih menjadi primadona.

Oleh sebab itu setelah kita mengetahui proglem paradigma kepatuhan, kita juga mesti mengetahui penyebab kedua krisis ini, yaitu problem Kebiasaan (habits).

Pengetahuan hanyalah sekedar pengetahuan jika tidak mewujud amal. Pribahasa orang bijak nampaknya masih relevan, “ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa menghasilkan nilai guna” . pun dalam hal paradigm dan kebiasaan.

BACA :  Relasi Pernikahan dengan Pendidikan

Bisa saja seorang memiliki pemahaman yang baik, tetapi jika tidak berupaya mengawali apalagi menjadikan sebuah kebiasaan, maka krisis kepercayaan kader akan tetap menghantui.

Ibrahim el-Fiky seorang motivator muslim dunia mengatakan, “lebih dari 90% sikap manusia bersifat spontan. Dan hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan”.

krisis kepercayaan kader parpol

Masih memiliki kaitannya dengan proglem kebiasaan kader, hendaknya mereka membiasakan diri dalam kebaikan-kebaikan yang lahir dari paradigma yang benar tentang kehidupannya.

Paradigma yang benar adalah pardigma yang muncul dari doktrin agama seperti keharusan patuh pada pimpinan di atas.

Adapun terkait proses kaderisasi, hal ini juga perlu mendapat perhatian. Sebab penyusupan kader ‘jahat’ adalah perkara mudah bagi parpol terbuka.

Lihat saja, kuantitas koruptor kader parpol terbuka lebih besar daripada parpol tertutup.

Oleh sebab itu hendaknya parpol menyaring kadernya dengan tidak hanya melihat ketokohan semata malainkan memperhatikan pula kebersihan rekam sejaknya sejak seseorang meniti karir politik. Bahkan sejak menjadi mahasiswa.

Kesimpulannya, problem kepercayaan kader dipengaruhi paradigma dan kebiasaan kader itu sendiri.

Untuk mengatasinya harus ada edukasi dan perhatian penuh dalam proses kaderisasi anggota partai.Dengan begitu, tidak berlebihan jika dikatakan tidak akan ada lagi krisis kepercayaan kader dari para petingginya.

Dengan begitu pula tidak akan mucul krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik di negeri ini.

Oleh : Andi Saepudin, S.Sy
(Pengamat Dinamika Sosial dan Keagamaan)

Leave a Reply


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.