Sikap Toleransi Beragama dalam Islam

Akhir-akhir ini publik sedang digegerkan dengan isu-isu sensitif, mulai dari isu ‘topi’ hingga isu politik DKI. Belum lagi isu terorisme yang juga mengudara, penggerebekan prosesi ritual keagamaan dan sejenisnya, rasanya semakin membuat kita jenuh dengan hidangan-hidangan yang membosankan ini.

Terlebih lagi, kerapkali yang menjadi pemicu isu-isu sensitif tersebut senantiasa bermuara pada isu krisis toleransi antar umat beragama.

Dan yang menyedihkan bagi kita, sikap intoleransi itu biasanya disematkan kepada penganut agama mayoritas di Indonesia, Islam. Benar atau tidak, faktanya memang demikian.

Fenomena ini tentu membuat kita harus memberikan jawaban terkait isu negatif toleransi umat beragama tersebut.

Sebab, secara doktrin kita telah meyakini bahwa Islam hadir ke muka bumi ini tidak lain untuk mewujudkan rahmat bagi semesta alam. Rasanya, sangat kontradiktif jika disebut sebagai agama pemicu konflik sosial.

Makna Toleransi

toleransi

Secara leksikal toleransi berasal dari bahasa latin yaitu “tolerantia” yang berarti kelembutan hati, kelonggaran, keringanan dan kesabaran.

Sementara dalam bahasa Inggris “tolerance” diartikan sebagai sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.

Adapun dalam bahasa arab toleransi yang sepadan dengan kata “at-Tasâmuh” memiliki makna “at-Tasâhul” yang berarti memudahkan.

Dalam Wikipedia berbahasa Indonesia, Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita tanpa kita ganggu ataupun intimidasi.

Senada dengan Wikipedia, dalam KBBI juga demikian, toleran diartikan sebagai sikap yang menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dengan merujuk pada defnisi di atas kita dapat menarik pemahaman bahwa inti terpenting dari toleransi adalah membiarkan orang lain dengan pendiriannya.

Dalam konteks agama, berarti mempersilahkan agama lain dengan keyakinannya, membiarkan ritual mereka yang diyakininya tanpa kita ganggu atau intimidasi.

BACA :  Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Islam

Definisi ini juga hampir sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim.

Pada lembar ke tujuh dikatakan “salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis”.

Toleransi Beragama dalam Sejarah Islam

toleransi di indonesia

Contoh konkrit praktek toleransi di zaman Rasulullah Saw nampaknya diwakili oleh surat al-Kafirun dengan as-Baab an-Nuzul-nya.

Imam as-Suyuthi dalam lubab an-Nuqul fi as-Baab an-Nuzul mengisahkan suatu peristiwa yang melatari turunnya ayat tersebut,

yaitu tatkala kaum kafir Quraisy meminta kompromi kepada Rasulullah agar menghentikan dakwahnya sehingga mereka bisa menyembah tuhan Muhammad dalam setahun dan meminta Muhammad menyembah tuhan mereka dalam tahun berikutnya.

Namun dengan tegas Allah menjawab melalui surat tersebut, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ibnu Katsir juga memberikan penafsiran ayat ini dengan mengutip ayat lain yaitu

“Apabila mereka mendustakanmu (wahai Muhammad), katakanlah bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian. Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian kerjakan”.

Tidak hanya dicontohkan oleh Rasulullah, sikap toleransi beragama juga dipraktekan oleh para Khulafaur Rasyidun, kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya.

Penganut agama lain dibiarkan dengan agama yang diyakininya tanpa dipaksa berfusi ke agama Islam sebagaimana yang difirmankan Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah 256 “tidak ada paksaan dalam masuk ke agama Islam”.

Oleh karena itu dapat kita buktikan dimana ketika itu umat Islam dapat hidup berdampingan dengan umat beragama lain dalam suasana damai yang luar biasa dalam kurun waktu yang lama.

Sebagai contoh, tatkala Amr bin Ash hendak membangun sebuah masjid di Mesir, beliau membeli rumah milik seorang kristen dengan paksa agar dapat memperluas lahan masjid.

BACA :  Mesin Absen Fingerprint : Gambar dan Harganya Lengkap

Tetapi orang kristen tersebut tidak menerimanya dan mengadukan prihal tersebut kepada khalifah Umar bin Khatab.

Sontak saja Sang Amirul Mukminin marah dan meminta agar masjid yang belum sempurna itu dirobohkan kembali. Hanya saja karena pemilik rumah melihat keadilan umat Islam, akhirnya ia pun merelakannya.

Bukan satu atau dua peristiwa, keadilan dan toleransi yang ditampilkan umat Islam memenuhi lembar sejarah peradaban umat ini.

Karen Amstrong dengan apik menggambarkan bagaimana damainya kota Yerusalem yang dihuni tiga agama, satu sama lain dapat beribadah tanpa merasa terancam.

Bahkan saat orang-orang Yahudi diburu oleh Ferdinand dan Isabella di Spanyol, sekitar 50.000 Yahudi berhijrah ke kaisaran Utsmani di mana mereka disambut dengan hangat oleh umat Islam. Karen Amstrong (2013 : 30)

Untuk Indonesia yang Lebih Damai

toleransi umat beragama dalam Islam

Dengan pemaparan di atas, nampaknya sulit menganggap Islam sebagai agama intoleran apalagi sebagai penyebab kerusakan.

Dulu, kini dan nanti Islam akan senantiasa memberikan warna indah kepada dunia sebagaimana karakternya membawa rahmat bagi semesta alam.

Islam tidak anti ras, warna kulit, apalagi anti agama –dengan pengertian anti mengakui eksistensi agama lain. Justru keragaman itu merupakan sunatullah yang telah termaktub dalam al-Quran.

Karenanya Islam bersikap toleran terhadap keragaman beragama.

Untuk Indonesia yang lebih damai, kita harus senantiasa memupuk toleransi kepada siapa pun. Kita juga tidak boleh mengintervensi atau berturut serta dalam ritual agama lain,

begitu dengan agama lain, tidak boleh memaksa penganut agama tertentu agar berturut serta dalam perayaan agamanya. Apa pun alasannya.

Sebab disadari atau tidak, tindakan tersebut akan memicu munculnya isu-isu sensitif yang menyebabkan konflik horizontal di masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih damai, kita harus bersikap lebih dewasa dalam memandang segala persoalan. Sebagaimana kita ketahui, persoalan bangsa ini sangat kompleks.

BACA :  Cara Membuat Perpustakaan Pribadi di Rumah Paling Mudah

Pendidikan yang belum merata, tingkat kemiskinan yang masih tinggi, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi yang masih jauh dari harapan,

semestinya semua ini menjadi goal setting bersama untuk diselesaikan ketimbang ricuh-riuh dengan persoalan-persoalan yang memiliki tingkat kerugian lebih tinggi daripada kemaslahatan.

Untuk Indonesia yang lebih damai, hendaknya para politisi juga meningkatkan diri menjadi negarawan di mana mereka mulai membangung kesadaran bersama untuk menuntaskan persoalan yang melilit negeri ini.

Kepentingan politik tidak boleh menegasikan kepentingan hukum.

Sebab dalam berbagai teori sosial, hukum adalah pengendali prilaku manusia dalam interaksinya agar tidak menyebabkan kerusakan di masyarakat.

Hukum harus menjadi prioritas, hukum adalah panglima di kehidupan masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih damai, begitu juga dengan para pemimpin dan para tokoh umat, hendaknya mereka menghadirkan contoh terbaik untuk para pengikutnya.

Diakui atau tidak, terkadang konflik terjadi disebabkan terdapat perbedaan yang dominan antara suasana kebatinan tokoh dengan pengikutnya yang masih awam.

Untuk Indonesia yang lebih damai, perlu kita tekankan sekali lagi, biarkanlah agama tertentu menjalankan perayaannya tanpa diganggu dan diintimidasi sebagai bentuk toleransi umat beragama.

Begitu juga tidak boleh agama tertentu memaksa agama lain untuk mengikutinya.

Dengan demikian, bila toleransi seperti ini dapat berjalan maka kualitas masyrakat kita akan meningkat menjadi lebih baik dan kedamaian akan terwujud. Bukankah itu yang kita harapkan?

Oleh : Andi Saepudin, S.sy
(Pengamat Dinamika Sosial dan Keagamaan)

Leave a Reply


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.